Salut Untuk Ibu Megawati

Sejak Prabowo bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi, sejatinya tidak ada lagi mekanisme check and balances yang bersifat formal dan memadai dalam penyelenggaraan negara kita. Semua telah menjadi orang pemerintahan. Dia yang dulu dianggap pelanggar HAM berat dan itu dijadikan isyu sentral untuk menyerangnya, justru mendapat jabatan yang mentereng di pemerintahan. Begitu pula dengan dengan masuk kabinetnya sang pedagang yang tidak pernah mau merugi, tapi pandai mengemas program-program pemberdayaan yang meluluhlantakkan hati ibu-ibu pengajian, bernama Sandiaga Uno, semakin menegaskan hilangnya mekanisme tersebut.



Mengutip ucapan seorang filosouf di kampanye pemilu yang lalu bahwa pemilu bukan untuk memilih orang yang terbaik tapi untuk mendapatkan yang lebih sedikit mudhoratnya, maka hari ini kita boleh bangga karena yang sedikit mudhoratnya dengan yang banyak mudhoratnya telah bersatu. Persatuan antara yang sedikit dan yang banyak mudhoratnya mungkinkah melahirkan hal yang baik? Tidak ada jawaban pasti untuk hal yang demikian. 

Banyak orang berfikir bahwa persatuan elit itu adalah ketika mereka sama-sama mendapat kursi di pemerintahan. Dan itu akan membawa dampak di akar rumput. Betapa terbelakangnya pemikiran seperti ini. Seolah negeri ini hanya soal elit dan rakyat hanya jadi pemandu sorak. Padahal ketika semua bergabung ke pemerintahan mulai dari celana kolor sampai mobil mentereng yang mereka gunakan akan didanai oleh uang rakyat. Artinya semakin banyak elit masuk ke pemerintahan, akan semakin banyak uang tersedot untuk membiayai mereka. Lalu rakyat dapat apa? Bagus kalau mereka benar kemudian mendedikasikan waktu, tenaga dan fikiran untuk memperbaiki keadaan, tapi siapa yang bisa menjamin itu. Bagaimana kalau persatuan ini hanya dimaksudkan untuk memudahkan para elit memenuhi ambisi-ambisi dan syahwat mereka? 

Dalam sebuah negara demokrasi adanya mekanisme check and balances yang formal dan memadai adalah prasyarat untuk berjalannya sebuah pemerintahan yang adil dan memperhatikan suara rakyat. Pemerintah akan sangat berhati-hati dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, karena ada kelompok oposisi yang siap mengeritik mereka jika ada hal yang dirasa tidak tepat atau berpotensi merugikan masyarakat banyak dalam jangka panjang. Ketika mekanisme formal dan memadai itu hilang, suara rakyat tidak lagi punya saluran yang bisa langsung sampai ke pemerintah secara baik. Akan terjadi distorsi karena toh semua telah menjadi bagian dari pemerintahan. Mustahil jeruk makan jeruk bukan? 

Rakyat kemarin, hari ini dan hari-hari selanjutnya akan tetap dalam posisi marginal. Persatuan elit tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan dibawa pada situasi yang lebih baik. Yang sudah pasti akan terjadi adalah akan semakin mudahnya penguasa membuat kebijakan dan aturan, akan semakin mudahnya pemerintah mendapat stempel pengesahan. Bahkan jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak rakyat, sejatinya tidak ada lagi suara yang cukup untuk didengar dan diindahkan oleh kekuasaan. Berharap pada partai-partai kecil yang masih kokoh menjaga amanah untuk jadi penyeimbang kekuasaan rasanya tidak akan dapat menghentikan apa yang dimaui oleh yang banyak dan sedikit mudhoratnya itu. 

Pada titik ini saya menyampaikan salut dan hormat pada Ibu Megawati. Terlepas dari segala kontroversi yang beliau hadirkan lewat pernyataan-pernyataannya, beliau adalah contoh dan teladan yang baik dalam sikap istiqamah berpolitik. Begitu kalah menjadi oposisi. Tidak pernah cawe-cawe untuk mendapatkan porsi di kekuasaan. Berulang kali SBY membujuk dan bahkan dari suami tercintanya agar PDIP dan beliau bergabung ke pemerintahan, beliau tolak dengan tegas. Beliau tidak takut untuk susah, dan dengan kepala tegak memilih untuk jadi oposisi. Buah dari keteguhan itu yang sekarang dinikmati partainya. Dua kali menang pemilu berturut-turut. Saya yakin partainya Prabowo dan Sandi tidak akan pernah sampai pada kemewahan semacam itu. 
( Sumber : https://www.facebook.com / 1582306152 / posts / 10221544329069231 / )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar