Megawati dan Puan Masih Tetap Mengecilkan Peran Jokowi Dalam Partai

Megawati dan Puan Masih Tetap Mengecilkan Peran Jokowi Dalam Partai - Dalam tulisannya yang berjudul “Indonesian election: Prabowo now the favourite”, Connelly mengatakan Prabowo mengejar ketertinggalannya dari Jokowi. Jika persaingan kedua kandidat capres ini betul-betul ketat, Prabowolah pihak yang diuntungkan. Itulah satu berita yangsangat mengejutakan yang diturunkan Yahoo Indonesia melalui kanal Newsroom Blog

Dalam berita yang diunggah pada Selasa lalu (24/6) itu diungkap tulisan Peneliti Program Asia Timur untuk Lowy Institute for International Policy, Aaron L Connelly. Pada bagian akhir berita itu juga dimuat petikan wawancara Yahoo Indonesia dengan Aaron L Connelly, yang dilakukan lewat e-mail.

Menurut Connelly, pemimpin partai di tingkat lokal masih “bermain dua kaki” akan langsung melompat ke gerbong Prabowo, yang kini mendapat momentum. Begitu juga dengan para pengusaha yang akan memilih untuk menyumbang pada mesin kampanye Prabowo (yang sebenarnya tak kekurangan uang).

Bagian yang mengejutkannya ketika Connelly mempertanyakan kenapa tiga lembaga survei yang biasanya menjadi referensi karena angka-angkanya yang akurat, yakni, CSIS, SMRC, dan Indikator, belum mengeluarkan hasil polling yang dilakukan dengan metoda wawancara tatap muka mengenai dua kandidat calon presiden dalam sebulan terakhir.

Menjawab pertanyaan Yahoo Indonesia, Connelly mengatakan, “Sangat tidak biasa bagi lembaga polling terkemuka di negara mana pun jika mereka tidak mengeluarkan hasil jajak pendapat pada sebulan menjelang pemungutan suara. Wawancara telepon tidak akan memberikan hasil akurat di Indonesia, karena berbagai faktor sosial ekonomi. Jadi, wawancara tatap muka adalah satu-satunya cara untuk mendapat gambaran akurat soal kondisi persaingan dua kandidat.”

Dalam tulisannya, seperti diungkap Yahoo Indonesia, Conelly menduga fakta bahwa ketiga lembaga survei itu terafiliasi dengan kubu Jokowi bisa menjadi salah satu alasan mereka “diam”. Tapi, Conelly juga mempertimbangkan kemungkinan bahwa lembaga-lembaga survei tersebut menahan diri untuk mengeluarkan angka polling yang sebenarnya menunjukkan popularitas Prabowo terus menanjak naik.

“Apakah lembaga-lembaga ini menahan hasil jajak pendapat yang menunjukkan kenaikan popularitas Prabowo yang lebih tinggi dari yang sebelumnya dilaporkan?” tannyanya.

Mungkin, lanjutnya, lembaga-lembaga survei itu berasumsi, jika mereka menunjukkan hasil polling yang sangat ketat atau dengan Prabowo memimpin, partai di tingkat daerah akan berlomba untuk menyatakan dukungan untuk Prabowo. “Kader Golkar di tingkat provinsi dan kabupaten sudah diinstruksikan untuk mendukung Prabowo, sesuai afiliasi resmi Golkar, tapi mereka sering merasakan kedekatan kuat dengan cawapres Jokowi, mantan ketua partai Jusuf Kalla. Banyak yang, jika melihat hasil polling yang tak positif, akan memilih untuk naik gerbong kemenangan sebelum terlambat. Dalam persaingan yang ketat, mesin Partai Golkar bisa menjadi kunci kemenangan,” katanya.

Selain itu, ada juga faktor Prabowo memenangkan “perang media televisi”. Dua stasiun televisi besar yang bisa menjangkau 40% pemirsa mendukung Prabowo, sementara MetroTV yang mendukung Jokowi hanya punya jangkauan pemirsa 2%.

Menurut dia, apa yang membuat popularitas Prabowo sebagai kandidat capres semakin naik dan turunnya popularitas Jokowi?

“Selain kampanyenya berdana besar dan tertata rapi, Prabowo juga menawarkan narasi yang menggambarkan Indonesia sebagai korban dari kekuasaan asing yang tak bernama. Kekuasaan asing ini digambarkan berkolusi dengan elite di Jakarta untuk memeras kekayaan nasional. Narasi ini bukannya tak punya cacat, tapi jelas-jelas menyentuh banyak orang Indonesia. Prabowo meyakinkan banyak orang bahwa hanya dia yang bisa menyelamatkan Indonesia dengan menerapkan sikap ‘tegas’ dan tak banyak omong kosong,” kata Conelly menjawab pertanyaan Yahoo Indonesia itu.

Ketika ditanya, apa yang terjadi dalam tiga bulan terakhir sehingga Jokowi kehilangan popularitasnya dan tTidakkah PDIP belajar dari hasil pemilu legislatif yang tak sesuai harapan, Conelly menjawab, “Lagi-lagi, ini adalah peran kampanye media dan pendanaan. Tapi, yang terutama adalah tim Jokowi lambat bergerak setelah dari pemilu legislatif, salah satu sebabnya adalah ada banyak sekali perdebatan internal dalam PDIP sendiri tentang arah kampanye. Sementara PDIP sibuk meredakan perdebatan internal mereka pada April dan Mei lalu, Prabowo dan timnya membangun koalisi dari partai-partai politik yang mesin dan dominasi medianya tak tersaingi. Pada periode tersebut, mereka menggambarkan Jokowi sebagai sosok yang tak punya ide untuk memajukan Indonesia. Saat tim Jokowi mulai memberikan gambaran akan sosoknya, itu sudah terlambat.”

Conelly juga mengatakan, dirinya tidak tahu apakah kubu PDIP belajar tentang hasil pemilu legislatif yang mengecewakan. “Tapi, Megawati dan Puan terus-terusan mengecilkan peran Jokowi dalam partai saat pidato-pidato publik. Ini membuat orang berpikiran bahwa Jokowi akan merujuk ke Megawati saat menjabat presiden nanti daripada dia sebagai pemimpin Indonesia dengan visi dan misinya sendiri. Tentu ini melukai posisinya di hadapan pemilih,” ujarnya.

Ketika Yahoo Indonesia bertanya mengenai pandangan tentang debat calon presiden, Conelly menjawab, “Jokowi memang menunjukkan dirinya punya pengetahuan mendetail soal kebijakan saat debat-debat tersebut, tapi penampilannya juga menunjukkan bahwa dia sangat kurang dalam kemampuannya berorasi. Sikap positif Jokowi seperti kesederhanaannya, kemampuannya mendengarkan, dan keramahannya memang menjadi kekuatan saat ia melakukan blusukan tapi tidak saat debat. Pada debat, jawaban singkat dan menohok lebih mengesankan buat pemilih. Fokus Prabowo pada beberapa pesan kunci, yang terus-terusan ia ulang, adalah strategi debat yang efektif.” | DJE/ASN-010
Sumber :  asatunews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar