Otak Orang Indonesia Paling Mahal Di Dunia, Mengapa ... ??? - Seorang praktisi filsafat perilaku menilai, rakyat Indonesia memilih pemimpinnya hanya berdasarkan persepsi, karena calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tidak mempunyai visi misi yang jelas yang akan diperjuangkan, jika terpilih menjadi pemimpin Indonesia 5 tahun ke depan.
"Perilaku pemilih itu segmented, 60 persen masyarakat pemilih kita terbangun karena persepsi," kata Dody Susanto, Praktisi filsafat perilaku tersebut, saat peluncuran Koran Malam (Kolam) di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (30/4).
Menurutnya, karena pemilih tidak mengetahui visi dan misi yang bakal dilakukan capres dan cawapres, maka gelaran pemilihan umum presiden (pilpres) hanya bersifat seremonial semata dan tidak menyentuh esensi dari melahirkan pemimpin berkualitas.
"Perilaku ini akan terus bergulir sampai ke beberapa periode karena tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk membangun pendidikan politik sejak dini," nilai Dody.
Karena pemilih bersifat segmented yang jumlahnya hanya sekitar 60%, maka kandidat yang telah mendeklarasikan diri bakal maju pada 9 Juni mendatang, maka tinggal meraih simpati sekitar 30-40% akan memenangkan pilpres.
"Itu sudah bisa menjadi presiden di Indonesia. Jadi selama 4 tahun dia urus saja kelompok yang kurang beruntung tadi, masyakarat kecil diurus dengan baik dengan pemahaman-pehamanan yang baik, dia pasti jadi presiden di Indonesia," ujarnya.
Untuk dapat keluar dari kultur dan prilaku tersebut, tandas Dody, maka harus membangun pendidikan politik secara komprehensif. Semua partai politik melakukan tugas dan fungsinya dan masyarakat ikut berpartisifasi untuk meningkatkan kesadaran dan kualitas pemahaman politiknya.
"Atmosfir negara memberikan peluang yang baik untuk berpolitik. Tapi syarat-syarat itu tidak dilakukan dalam karakter pemilu negara kita," tandasnya.
Akibatnya, ujar Dody, punya program atau tidak seolah bukan hal yang penting dalam proses karakter perilaku pemilu di Indonesia, sehingga siapa yang berhasil merebut simpati maka akan di-endorse sebagai pemimpin di negeri kita, itu faktanya seperti itu," ungkapnya.
Terlebih perilaku pemilih di Indonesia konteksnya hanya menganggap pemilu sebagai siklus lima tahunan dan hanya ingin merotasi pemimpin. Maka terjadilah ritmik transaksi, 'Kalau you ingin jadi pemimpin karena you tidak pernah beri gagasan, ya bayar dong!' Jadi terjadilah transaksi, baik di depan, di tengan dan belakang. Itu intinya transaksi," tandasnya.
Sedangkan mengenai Kolam yang debutnya baru diluncurkan bulan ini, Dody selaku pemimpin redaksinya mengaku medianya siap memberikan pencerahan untuk memajukan Indonesia, karena malam hari merupakan waktu yang harus diisi dengan bacaan berkualitas.
"Hampir 90 persen metabolisme tubuh itu terjadi di malam hari, sehingga perlu diberikan stimulan. Kenapa bangsa ini tidak sukses, karena malam harinya tidak diisi dengan membaca. Kalau mau maju, harus mengisi peradaban malam. Harus melakukan perencanaan malam," ujarnya.
Dody memprediksi jika ada penjualan otak, maka otak orang Indonesia yang paling mahal, karena masih banyak space yang masih kosong. Pasalnya, baru digukanan 15 persen dari kapasitasnya.
Sedangkan siapa yang menjadi segmen Kolam, Dody mengatakan, sekitar 7.000 di Jabodetabek yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata, membutuhkan bacaan berkelas dan itu disajikan dalam koran ini, sehingga media yang terbitnya malam hari ini diyakini bisa mengubah Indonesia berbasis pengetahuan.
Sedangkan saat disoal seberapa optimis bertahan mengingat saat ini banyak pembaca beralih ke media online atau elektronik lainnya karena semakin massifnya penerapan teknologi komunikasi, Dody meyakini media cetak tidak akan pernah mati. "Koran tidak akan mati karena ini sunatullah dan akan kembali ke siklus awalnya, yakni cetak." (IS)
Sumber : gatra.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar