Mengapa Rakyat Masih Mau Datang Ke TPS - Meski belum ada hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei telah memperlihatkan kemungkinan jumlah suara yang diperoleh 12 partai politik peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Jika dibandingkan dengan hasil Pemilu 2009, hasil hitung cepat Pemilu 2014 menunjukkan telah terjadi perubahan dukungan suara sejumlah parpol.
Hasil hitung cepat tidak hanya memperlihatkan kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), tapi juga perubahan posisi partai lain. Partai Demokrat, misalnya, yang menjadi jawara pada Pemilu 2009, kini melorot ke posisi empat.
Hasil hitung cepat lembaga survei yang dikeluarkan setelah pemungutan suara 9 April lalu tak jauh berbeda. Hasil hitung cepat yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memperlihatkan PDIP mendapatkan suara 19 persen disusul Partai Golkar 15 persen, Partai Gerindra 12 persen, Partai Demokrat 10 persen, PKB 9,1 persen, PAN 7,7 persen, PKS 6,9 persen, Partai Nasdem 6,6 persen, PPP 6,3 persen, Partai Hanura 5,2 persen, PBB 1,4 persen, dan PKPI 1 persen.
Posisi urutan-urutan parpol berdasarkan hasil hitung cepat itu berbeda dengan hasil Pemilu 2009. Ketika itu, Partai Demokrat berada pada urutan paling atas dengan perolehan suara 20,81 persen, disusul oleh Partai Golkar 14,45 persen, PDI-P 14,01 persen, PKS 7,89 persen, PAN 6,03 persen, PPP 5,33 persen, PKB 4,95 persen, Partai Gerindra 4,46 persen, dan Partai Hanura 3,77 persen.
Perubahan urutan dan jumlah suara dukungan terhadap parpol hasil Pemilu 2014 itu bukan tanpa sebab. Berbagai peristiwa sepanjang lima tahun belakangan ini harus diakui telah memberikan perubahan pandangan publik terhadap parpol. Kita harus mengakui kalau rakyat Indonesia semakin cerdas dalam menentukan sikap ketika masuk ke bilik suara dan menentukan pilihan mereka.
Paling tidak, ada lima kondisi yang memengaruhi pilihan masyarakat ketika mereka datang ke tempat pemungutan suara (TPS) 9 April lalu.
Pertama, kinerja parpol, baik di pemerintahan maupun parlemen. Publik sudah semakin piawai dalam menilai kinerja parpol selama lima tahun belakangan. Pada era keterbukaan seperti saat ini, rakyat semakin pandai menilai partai mana saja yang benar-benar memperjuangkan nasib mereka.
Kedua, figur caleg yang diusung. Pemilih lebih melihat calon yang diusung, yang ada di kertas suara, dibanding partai. Fakta menunjukkan, parpol yang mengusung caleg yang memiliki popularitas dan kredibilitas tinggi mendulang suara lebih banyak.
Ketiga, moralitas para kader parpol terkait dengan permasalahan hukum, terutama kasus-kasus korupsi. Publik marah dan memberikan hukuman berat bagi parpol yang kadernya melakukan praktik korupsi. Kondisi itu semakin parah jika parpol tidak bijak menyikapi kader mereka yang terlibat kasus korupsi, apalagi sampai menimbulkan kesan kalau partai melindungi kader yang korup.
Dua kondisi itu, harus diakui, dialami oleh Partai Demokrat. Partai yang pada Pemilu 2009 secara mengejutkan mendapatkan suara 20,81 persen dan merajai kursi di parlemen, kini terpuruk pada posisi keempat. Menurut hasil hitung cepat Pemilu 2014, Partai Demokrat berada pada urutan keempat dengan perolehan suara sekitar 10 persen. Turun drastis dibandingkan hasil Pemilu 2009.
Keempat, upaya keras parpol dalam melakukan konsolidasi internal. Parpol yang berhasil memperkuat barisan dan tak mudah dihantam isu-isu negatif merasakan manfaat yang besar pada pemilu kali ini. Partai-partai besar, yang memiliki basis massa loyal, biasanya tetap mendapatkan dukungan besar, seperti Partai Golkar, PDIP, dan PKS. Tiga partai ini mampu menjaga soliditas internal mereka, meski diterpa berbagai isu negatif. Kekompakan kader menjadi kunci.
PKB menjadi contoh nyata pemilu kali ini betapa pentingnya konsolidasi internal partai. Pada Pemilu 2009, PKB berada pada urutan tujuh dengan perolehan suara 4,96 persen. Namun, pada Pemilu 2014, PKB naik ke urutan lima dengan perolehan suara 9,1 persen. Angka yang fantastis. Harus diakui, PKB berhasil melakukan konsolidasi internal, terutama dengan menarik kembali kaum Nahdliyin, yang merupakan basis massa partai itu.
Kondisi kelima adalah kepiawaian parpol dalam mengusung calon pemimpin. PDIP contohnya, mendapatkan dukungan suara yang signifikan dan berpeluang besar menjadi pemenang Pemilu 2014. Keberhasilan itu mereka raih, karena mengusung tokoh yang disukai publik sebagai calon presiden (capres), yakni Joko Widodo (Jokowi). PDIP di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri dengan cerdas membuat keputusan yang berbeda dengan partai lain, yakni tidak mengusung ketua umum atau elite parpol sebagai capres. Selain itu, PDIP juga berhasil mengangkat kader dan tokoh muda untuk menjadi pemimpin di daerah.
Lima kondisi yang terjadi sepanjang lima tahun terakhir itu harus menjadi perhatian utama parpol. Hasil Pemilu 2014 harus menjadi pelajaran penting bagi parpol jika ingin mendapatkan suara besar dan menang pada pemilu berikutnya. Dalam lima tahun nanti, mereka harus menunjukkan kinerja yang baik dan tidak mengecewakan rakyat.
Niscaya, jika kinerja parpol bagus dan mampu melakukan konsolidasi dengan baik, suara mereka akan bertambah, bahkan bukan tidak mungkin menjadi pemenang pemilu. Niscaya, politik uang dan kampanye negatif atau kampanye hitam tidak akan mampu mengubah penilaian rakyat terhadap partai yang berkinerja baik.
sumber : .beritasatu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar