Kekhawatiran Publik Soal Tapera Jadi Ladang Baru Bagi Koruptor

Sejak munculnya peraturan baru soal potongan gaji demi program baru pemerintah Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), banyak kontra dari berbagai kalangan. Karena tabungan itu bukan lagi bersifat sukarela tapi wajib, sehingga terkesan seperti pemaksaan bagi setiap warga Indonesia.

Moeldoko

Negara kita sendiri masih ramai dengan kasus korupsi yang cukup membuat muak publik, karena kerugian yang ditanggung negara terhitung besar dan polemiknya pun merembet ke beberapa pihak. Orang yang diuntungkan pun sangat tidak tahu diuntung, sehingga pertanggungjawabannya pun masih dipertanyakan bagaimana nanti karena jalur hukum masih berjalan hingga detik ini. 

Belum surut dari problem korupsi, peraturan baru dengan sistem mengumpulkan uang dari rakyat turun dan akan segera dilaksanakan nanti karena aturan Tapera sudah diteken oleh presiden pada 20 Mei 2024 nanti. Sontak saja asumsi terbit, Tapera akan menjadi lahan baru bagi barisan koruptor yang sudah menjamur di tanah air. Tapi kekhawatiran itu coba dipatahkan pemerintah lewat Kepala Staf Presiden, Moeldoko yang mengadakan konpers untuk meredakan kontra di tengah-tengah publik. 

Moeldoko, Kepala Staf Presiden, menguraikan bahwa pemerintah memahami kekhawatiran masyarakat terkait Tapera karena sosialisasi yang belum maksimal, menyebabkan beberapa kebingungan. Dia menjelaskan bahwa pemotongan 3 persen dari penghasilan pekerja akan dilakukan, dengan pemerintah dan perusahaan swasta turut serta dalam pemotongan sebesar 0,5 persen. 

Potongan tersebut akan dibagi, di mana setengah persen untuk PNS dan setengah persen untuk pekerja mandiri dan swasta. Moeldoko juga menyoroti bahwa program serupa dilakukan di negara lain sebagai upaya pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat. Dia mengajak masyarakat untuk memahami upaya pemerintah dalam hal ini dan berjanji untuk terus membuka dialog dengan masyarakat dan pihak terkait. 

Konpers itu bagian dari klarifikasi dan pengakuan bahwa pemerintah terlalu buru-buru dalam mengambil keputusan. Buktinya peraturan penyelenggaraan Tapera diteken tanpa persetujuan bahkan tanpa sosialisasi kepada rakyat. Padahal itu perihal finansial setiap warga yang menyangkut hajat kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. 

Lalu apa pernyataan Moeldoko itu mampu mengubah situasi yang sudah liar dan menyulut kemarahan publik? Tidak, karena banyak kalangan sudah mulai mengupas tuntas perihal rencana pemberlakuan pemotongan gaji guna pelaksanaan Tapera itu. Kurang efektif, karena harga rumah masih mahal dan waktu yang diperlukan untuk melakukan cicilan rumah tidak efisien. Rumah dari pemerintah yang sudah dijalankan di beberapa negara ini nyatanya tidak seluruhnya berhasil.

Baru-baru saja kita diperlihatkan dengan fenomena rumah subsidi yang tidak terawat dan terlantar di era Presiden Jokowi ini. Serupa dengan sikon di Jepang, dimana rumah di perdesaan banyak yang kosong karena ditinggal ke perkotaan atau ke daerah perantauan sehingga pemerintah pun menjualnya dnegan harga murah hingga memberikannya secara gratis dan juga bersedia memberikan uang renovasi untuk kembali menempati rumah kosong tersebut. Mengapa pemerintah tidak mengambil inisiatif tersebut?

Kita lihat saja bagaimana nanti realisasinya, akankah bisa terus berlanjut di tengah kondisi ekonomi rakyat yang mencekik dengan kebutuhan-kebutuhan sehari-hari? Lalu akankah Tapera tidak akan menjadi ladang baru untuk para koruptor? Kekhawatiran itu akan terus mendarah daging karena kebijakan untuk membuat mereka jera pun belum kuat. Saat ini yang masih bisa dilakukan rakyat adalah terus mengawal program tersebut, agar hak mereka tidak dirampas oleh wakil mereka sendiri. ( @Melihat_Indo via X )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar