Sebetulnya Pemilihan Presiden Langsung Tidak Cocok Dengan Sistim Multipartai di DPR

Pemilihan presiden langsung sebenarnya dinilai tidak serasi dengan sistem multipartai di DPR (10 parpol). 

Studi Mainwaring (1993) menunjukkan, mayoritas negara dengan demokrasi yang stabil menerapkan sistem pemerintahan parlementer (parlementerisme). 

Dari 31 negara demokratis dan stabil yang diteliti, hanya empat negara yang menerapkan presidensialisme, sisanya menerapkan parlementerisme 


Mainwaring melanjutkan, ketidakcocokan presidensialisme dan multipartisme bisa mengarah pada ketidakstabilan pemerintahan yang dipilih secara demokratis. 

Pertama, presidensialisme multipartai seperti di Indonesia dikhawatirkan menimbulkan kebuntuan saat pengambilan keputusan, meskipun kasus kebuntuan anggaran Amerika Serikat hingga Oktober 2013 sebenarnya merupakan anomali presidensialisme dua partai. 

Risiko kebuntuan bisa jadi lebih besar di Indonesia, mengingat banyaknya partai politik di DPR dan adanya dua kutub koalisi yang belum menunjukkan kondisi polarisasi yang mereda. 

Kedua, kombinasi presidensialisme multipartai menjadi kompleks karena kesulitan koalisi antarparpol. 

Kisruh antarparpol yang tergabung dalam sekretariat gabungan koalisi memberi pelajaran bahwa tidak selamanya partai setuju dengan kebijakan pemerintahan koalisi. 

Fakta kartelisme kepartaian Indonesia sebenarnya menepis argumen pengaruh sistem pemerintahan terhadap efektivitas pemerintahan dan stabilitas demokrasi. Kartel politik dan kartel legislatif tampak kuat dalam pengambilan kebijakan. 

Pidato perpisahan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan pada 19 Mei 2010 seolah berusaha menunjukkan fakta arah koalisi pragmatis pemerintahan saat itu. 

Istilah-istilah politis seperti "kartel politik" dan "perkawinan politik" mengindikasikan bahwa kepentingan politik dan ekonomi telah menjadi pertimbangan kuat dalam pembuatan kebijakan pemerintah (Sobari, 2010). 

Sebelumnya, studi Ambardi (2009) berhasil mengumpulkan bukti dan mengidentifikasi lima ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia Pasca-Reformasi, yaitu hilangnya peran ideologi partai politik, sikap permisif pembentukan koalisi, tiadanya oposisi kuat, tidak berartinya hasil pemilu dalam membentuk perilaku partai, dan kuatnya kolektivisme antarparpol daripada kompetisi. 

Dalam kasus Indonesia, penyebab sebenarnya cukup sederhana, yakni berkaitan dengan hubungan akuntabilitas politik antara para legislator dan partai. 

Sentralisasi kepemimpinan dan pengambilan keputusan partai-partai politik memaksa para legislator mengikuti strategi, taktik, dan kepentingan politik partai sebagai patronnya (anutan). 

Ketakutan dan kekhawatiran akan peringatan partai yang berujung pada penarikan (recall) keanggotaan parlemen menyebabkan posisi mereka menjadi rentan. Dampaknya, akuntabilitas kinerja para legislator (dalam pembuatan kebijakan, penganggaran, dan pengawasan pemerintah) terhadap konstituen terabaikan. 

Konsekuensinya, pemerintahan presidensial mendatang sepertinya akan mengalami nasib sama. Pemerintah tertekan oleh desain pemerintahan presidensialisme multipartai yang paradoksal dan praktek-praktek politik informal yang menyandera akuntabilitas pemerintahan. 

Namun, bila para elite politik dan pemerintahan mengubah presidensialisme yang mulai mapan, tentunya juga bukan solusi bijak. 

Maka pemerintah mendatang mesti mengupayakan terciptanya presidensialisme efektif sebagai salah satu jalan keluar. 

Pertama, berupaya meningkatkan kemampuan pemerintah dalam mendeteksi persoalan publik (negara dan rakyat) yang menghambat kemajuan dan mencarikan jalan keluarnya. 

Kapasitas itu dibutuhkan untuk mendorong akuntabilitas pemerintahan terpilih dalam merealisasi janji-janji kampanyenya. 

Kedua, berusaha meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan efektif. Prinsip musyawarah mufakat dalam demokrasi Pancasila relevan dalam pembuatan kebijakan strategis maupun implementatif. Debat-debat kebijakan antara pemerintah, DPR, dan kalangan non-pemerintah mesti dilakukan atas dasar bukti-bukti kebijakan yang kuat dan relevan. 

Musyawarah dengan dukungan argumen kebijakan yang otentik jauh lebih baik daripada mekanisme voting yang lebih menguntungkan koalisi mayoritas dalam parlemen. 

Ketiga, memperkuat institusi-institusi penjaga akuntabilitas, seperti BPK, BPKP, UKP4, KPK, Komisi Informasi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Yudisial, serta Ombudsman Republik Indonesia. 

Kehadiran dan peran lembaga-lembaga itu akan mengawasi pemerintahan dan menjadi jembatan akuntabilitas antara pemerintah dan rakyat. 

Tidak ketinggalan upaya-upaya kampanye akuntabilitas dan pelibatan publik dalam mendorong akuntabilitas pemerintahan. 

Sumber : Tempo.co // Selasa, 22 Juli 2014 // Wawan Sobari, Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar