Uang Politik Demokrasi

Uang Politik Demokrasi - Politik memang membutuhkan biaya (political cost), terutama saat pemilu, termasuk pilpres. Namun, biaya politik masih bisa dimaklumi jika untuk keperluan kampanye, seperti pengadaan kaus, spanduk, atau memberi makan/transportasi massa yang menghadiri kampanye. Namun, biaya politik itu bisa berubah menjadi politik uang atau bahkan pembelian suara. Biasanya, praktik seperti itu dilakukan oleh kandidat yang tidak memiliki kepercayaan diri untuk bisa memenangi pertarungan. Mereka memanfaatkan sikap permisif masyarakat Indonesia terhadap politik uang dengan berusaha membeli suara mereka agar mau memilih kandidat tertentu. 

Di Indonesia, setiap pelaksanaan pemilu, isu seputar politik uang selalu ada. Namun, seiring waktu, isu pembelian suara masyarakat itu juga lenyap tak berbekas. Laporan-laporan masyarakat tentang kandidat atau tim suksesnya yang membagi-bagi uang dianggap angin lalu. 

http://www.suarapembaruan.com/media/images/medium2/20140411234644215.jpg
Ilustrasi politik uang. [Google]

Menjelang pilpres 9 Juli, pembelian suara atau praktik politik uang lainnya disinyalir tetap ada. Bahkan, sempat beredar kabar bahwa salah satu pasangan capres dan cawapres menyiapkan uang hingga triliunan rupiah untuk membeli suara rakyat. Praktik politik uang yang biasanya marak dan kerap diungkap adalah kandidat yang memberikan sejumlah uang langsung kepada rakyat yang sudah menggunakan hak pilih. 

Uang itu biasanya diberikan menjelang hari pemilihan atau bahkan saat warga hendak pergi ke TPS, yang akrab disebut sebagai “serangan fajar”. Jumlah uang yang diberikan bervariasi, antara Rp 50.000 hingga Rp 200.000 per orang. 

Namun, ada praktik politik uang yang jarang diungkap ke publik meski indikasi ke arah sana sangat jelas terlihat. Praktik itu adalah dengan membeli dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh signifikan di kalangan masyarakat bawah (akar rumput). Berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, pembelian dukungan (influence buying) itu dari tokoh-tokoh masyarakat telah menjadi bagian dari praktik politik uang yang terselubung. Praktik seperti ini sangat sulit dibuktikan dan terkesan telah menjadi semacam budaya dalam panggung politik di Tanah Air. 

Pembelian dukungan terjadi karena sifat materialistik dan permisif di kalangan masyarakat Indonesia. Bukan tidak mungkin, maraknya dukungan dari tokoh, elemen, atau organisasi kemasyarakatan kepada salah satu kandidat merupakan bagian dari praktik pembelian dukungan itu. Namun, tentu saja tidak semua dukungan itu harus dicurigai sebagai bagian dari influence buying. 

Seorang anggota ormas pernah mengatakan, kandidat biasanya tidak datang ke tokoh masyarakat dengan tangan kosong. Biasanya, seorang tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh di tingkat kecamatan akan diberikan “uang saku” sekitar Rp 25 juta saat kandidat itu berkunjung. Bayangkan, berapa uang yang harus dikeluarkan kandidat untuk tokoh yang memiliki pengaruh di tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau bahkan nasional?

Praktik pembelian dukungan terhadap tokoh masyarakat atau tokoh politik ini lebih efektif dan lebih terselubung, sehingga sulit diungkap. Cara seperti ini efektif, karena sebagian besar masyarakat di Indonesia selalu mengikuti tokoh-tokoh panutan mereka. Apalagi, jika masyarakat yang disasar adalah yang belum menentukan sikap (undecided voters) atau pemilih galau. 

Kita tentu berharap praktik politik uang, termasuk vote buying atau influence buying tidak lagi digunakan dalam pemilihan di Indonesia. Praktik seperti itu akan menyingkirkan kandidat yang benar-benar memiliki kapabilitas sebagai pemimpin, tapi tidak memiliki modal ekonomi yang memadai. Praktik seperti itu hanya akan memunculkan kandidat atau elite politik yang lebih mengutamakan logika untung-rugi dan tidak memikirkan kepentingan rakyat. Jika terus terjadi, praktik politik uang akan menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia. 

Pemimpin yang terpilih dengan menggunakan politik uang bukan pemimpin yang amanah. Pemimpin seperti itu justru akan menumbuhkan praktik korupsi di pemerintahan mendatang, karena dia harus mengembalikan biaya politik yang dikeluarkan ketika pemilu. 

KPU dan Bawaslu harus terus mengawasi praktik seperti ini dan memberi sanksi yang tegas kepada kandidat yang melakukannya. Laporan masyarakat tentang politik uang jangan dianggap sebagai angin lalu. 

Di sisi lain, kita berharap agar para elite politik tidak menggunakan caracara instan dalam menggalang dukungan, apalagi dengan melakukan praktik politik uang atau membeli dukungan dari tokoh-tokoh berpengaruh. Suatu kemenangan akan lebih elok dan nikmat dirasakan jika diraih dengan perjuangan, kejujuran, kapabilitas, akseptabilitas, dan kredibilitas. ***
Sumber : suarapembaruan.com

No comments:

Post a Comment