Di mana-mana yang menjadi pemenang pemilukada adalah Golput. Rakyat sudah "nek" dengan calon pemimpin daerah dan pemilu.
Rakyat semakin cerdas. Tak lagi bisa ditipu dengan janji-janji "gombal" para tukang tipu yang menggunakan kedok "pemimpin".
Mereka yang mengaku paling bersih ternyata paling "doyan". "Doyan" duwit dan perempuan. Rakyat hanya dijadikan tangga alias keset, tetapi sesudah berkuasa tak pernah memperhatikan kehidupan rakyat, dan rakyat tak pernah menjadi lebih baik.
Pemimpin partai politik hanya terdiri dari para pemuja syahwat. Tak aneh sekarang politik terus gonjing-ganjing. Akibat para pucuk pimpinan partai digelandang KPK, akibat dugaan korupsi.
Maka, sikap rakyat terhadap pemilukada itu, nampak di Jakarta, Jawa Barat, dan di Sumatera, sangat kritis. Banyak rakyat yang memilih Golput, dibandingkan menggunakan hak pilih mereka.
Di DKI Jakarta Golput mencapai 40 persen, di Jawa Barat Golput 37 persen, dan bahkan di Sumatera Utara jumlah Golput sampai 50 persen. Ini merupakan cerminan rakyat tidak memiliki kepercayaan terhadap yang namanya : pemimpin dan partai politik.
Maka, PDIP, walaupun sudah menyorongkan manusia paling populer di jagad raya ini, dan didukung media kristen seperti Kompas, tetapi tak laku dijual dan mendongkrak suara calon seperti "Oneng" di Jawa Barat dan "Effendi Simbolon" di Sumut. Jokowi tak dapat memenangkan dua tokoh PDIP. Jokowi sudah tak laku dijual oleh PDIP.
Manusia yang paling super menurut media kristen dan sekuler itu, sejatinya hanyalah tokoh yang diskenariokan sebagai tokoh nasional di tahun 2014. Lalu, di uji coba di DKI, Jabar dan Sumut. Ternyata Jokowi biasa-biasa saja. Tak bisa menyulap "Oneng" dan "Effendi Simbolon" menjadi pemenang.
Kenyataannya, meski telah menghadirkan Jokowi sebagai juru kampanye, namun pasangan Cagub PDIP kembali gagal, setelah sebelumnya pasangan Cagub Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki juga gagal di Pemilukada Jawa Barat.
Menururt pengamat politik, Karel Susetyo kalau Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sebagai brand image politik itu memang kuat yakni baju kotak-kotak dan ide perubahan yang melekat pada dirinya.
Akan tetapi, brand itu tidak bisa di copy paste begitu saja, dan sudah tidak laku lagi. Karena, terbukti selama 100 hari memerintah di DKI, Jokowi menjadi seperti orang "bingung dan linglung", dan tak tahu melangkah. Jokowi hanya dibesarkan oleh media massa belaka.
"Brand bisa hidup karena ruh dan semangat Jokowi. Jadi, ini faktanya gagal Jokowi efek sebelumnya pasangan Rieke-Teten juga kalah di Pilkada Jabar," kata Karel, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (7/3/2013).
Karel mengatakan, meski baju kotak-kotak masih dijadikan ikon oleh Cagub-cagub yang diusung PDIP, baik dalam Pemilukada Jawa Barat, dam Sumatera Utara, namun hal itu tidak bisa mengulang kesuksesan dalam Pemilukada DKI Jakarta.
"Tapi itu tidak ada ruhnya, baju mah siapa aja juga bisa pakai tapi kan ruhnya berbeda," sindirnya.
Karel menyinggung, masyarakat pun kemungkinan sudah mengetahui bagaimana Effendi Simbolon itu terkenal orang yang berpenampilan elit.
"Nah tiba-tiba saja mau tampil merakyat ya, ga bisa itu aneh lah. Karena image-image yang terbangun mau perubahan ga bisa masuk, jadi utamanya itu brand dan ruh yang dibangun," jelas peneliti dari POINT Indonesia.
Memang, sebagai kader ya wajar saja kalau Jokowi menjalankan tugas partai tapi pengaruhnya juga tidak terlalu banyak.
"Udahlah Jokowi efek itu tidak terbukti pasca Pemilukada di Jakarta, yang menang setelah Pemilukada Jakarta itu hanya di Kalimantan Barat (Kalbar), tapi itu juga bukan karena Jokowi efek. Kandidat tidak pakai kotak-kotak namun berhubung incumbent dan cara kerjanya sama dengan Jokowi, hanya saja dia tidak diekspose saja. Kalau Jokowi kan over ekspose karena di Jakarta," tegasnya lagi.
Jadi Jokowi itu hanyalah dibesar-besarkan media kristen dan sekuler yang sekarang ini merajut sebuah rekayasa, agar Jokowi nanti dapat tampil di tahun 2014, dan menjadi iko sebagai pembaharu, sekaligus tokoh perubahan.
Isu perubahan itu yang selalu diusung oleh media kristen dan sekuler. Tujuannya hanya satu menghapus kekuatan Islam politik dari panggung politik Indonesia.Dengan menggunakan peluru : Jokowi.
voa-islam
Memang, sebagai kader ya wajar saja kalau Jokowi menjalankan tugas partai tapi pengaruhnya juga tidak terlalu banyak.
"Udahlah Jokowi efek itu tidak terbukti pasca Pemilukada di Jakarta, yang menang setelah Pemilukada Jakarta itu hanya di Kalimantan Barat (Kalbar), tapi itu juga bukan karena Jokowi efek. Kandidat tidak pakai kotak-kotak namun berhubung incumbent dan cara kerjanya sama dengan Jokowi, hanya saja dia tidak diekspose saja. Kalau Jokowi kan over ekspose karena di Jakarta," tegasnya lagi.
Jadi Jokowi itu hanyalah dibesar-besarkan media kristen dan sekuler yang sekarang ini merajut sebuah rekayasa, agar Jokowi nanti dapat tampil di tahun 2014, dan menjadi iko sebagai pembaharu, sekaligus tokoh perubahan.
Isu perubahan itu yang selalu diusung oleh media kristen dan sekuler. Tujuannya hanya satu menghapus kekuatan Islam politik dari panggung politik Indonesia.Dengan menggunakan peluru : Jokowi.
voa-islam
- Siapa berkoalisi dengan siapa menjadi isu politik paling hangat paska Pemilu Legislatif (Pileg) pada 9 April 2014. Terlebih, berdasarkan hasil hitung cepat atau quick count sejumlah lembaga survei,…
- Lolosnya Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai salah satu peserta Pemilu 2014 mendatang diprediksi akan semakin memanaskan iklim politik nasional, terutama parpol Islam. Sebab, diperkirakan PBB akan…
- Aroma Judicial Corruption Di Balik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) - Putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi UU Pilpres yang diajukan Effendi Ghazali dkk ternyata sudah diputuskan setahun…
- Inilah Beberapa Isyarat Pemimpin Yang Dapat Membangun Harapan Rakyat - Pepatah lama menyebutkan, “busuk ikan diawali dari kepala. Tatkala kepala baik, maka seluruh ikan akan baik. Demikian pula…
- Pengamat kebijakan publik, Gigin Praginanto menilai, PDIP hanya memanfaatkan petani pada masa propaganda politik menjelang pemilu 2024.“Petani cuma dielukan di masa propaganda politik,” ungkapnya…
- Ruhut Sitompul Pesimistis Hanura Bisa Memperoleh Angka Presidential Treshold - Bendahara Umum Partai Golkar Setya Novanto menyambut baik deklarasi pasangan capres-cawapres, Wiranto-Hary…
- Pemilu pertama zaman Orde Baru (1966-1998). Diikuti 10 peserta. Terdiri dari partai politik NU, PNI, IPKI, Murba, Partai Katolik, Parkindo, PSII, Perti dan Parmusi plus satu peserta yang tak ingin…
- Galau Antara Adil dan Sejahtera - Walau dibantah berkali-kali oleh elite PKS, fenomena ‘’Faksi Keadilan’’ dan’’Faksi Sejahtera’’ di tubuh PKS, semakin terang-benderang. Sejumlah peneliti sudah…
- PDIP Tidak Khawatir, Koalisi Golkar-Gerindra Tergantung Jokowi — Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Golongan Karya (Golkar), Indra J. Piliang, mengatakan efek Jokowi selaku…
- Dampak Kehadiran Pramono Edhie Bagi Partai Demokrat - Politisi Demokrat Ruhut Sitompul menilai, sebagai calon presiden, Jenderal TNI (Purn) Pramono Edhie Wibowo lebih baik dibanding Gubernur DKI Joko…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar